Ayah, Mengapa aku berbeda? bagian 2


Kisah ini terdapat dalam novel ” Ayah, Mengapa aku Berbeda?” telah terbit dan bisa kamu dapatkan di toko buku kesayangan kamu. novel ini akan diangkat ke layar lebar pada awal desember 2011.
buku ini seharga 35.000 dan bisa kamu beli online juga. silakan membaca

Mengapa Aku Terlahir Cacat?


Mungkin hanya Tuhan Yang Maha Tahu untuk menjawabnya. Bagaimanapun dan apapun keadaanku, inilah jalan yang harus aku lalui. Mungkin dari  sejak awal, Ayah sudah menyadari apa yang akan terjadi padaku ketika dulu sebelum aku terlahir, ia mendapat peringatan keras dari dokter untuk melarang kelahiranku. Tapi ia juga paham, Ibu yang berhati mulia seperti istrinya tidak akan pernah tega melakukan apa  yang dokter sarankan walau kematian adalah ancaman terbesar baginya.
Ibu dan Ayah, sejak dulu memang sudah harus melalui penderitaan cinta untuk bersatu. Ibuku tiga tahun lebih tua dari Ayah. Ia adalah seorang putri dari orang tua yang sukses dan kaya.  Ayahku hanya seorang anak yang terlahir dari ibu tunggal yang bekerja sebagai pembuat kue. Mereka dipertemukan oleh Takdir di saat Ayah yang mendapatkan beasiswa belajar musik di sekolah musik terkenal sedangkan Ibu adalah seorang senior di sekolah musik itu. Ibu melihat bakat Ayah yang cukup tinggi dalam bermain piano.
Ibu terkesan dengan  Ayah yang begitu mahir bermain piano. Ia secara tak sengaja mendengar permainan piano  Ayah saat hendak  masuk ke kelasnya. Bukannya masuk ke kelasnya sendiri,  ia malah terduduk di kursi kelas  Ayah. Saat  Ayah selesai bermain piano, Ibu memberikan tepuk tangan meriah pada  Ayah. Ayah yang saat itu berusia empat belas tahun hanya tersipu malu melihat ibu yang cantik memuji permainannya. Sejak saat itu mereka pun berkenalan. Dengan malu-malu, Ayah mengenalkan dirinya pada   Ibu yang usianya  tiga tahun lebih tua darinya.
“Angel…” kata  Ibu sambil pergi meninggalkan  Ayah.
Awalnya, Ayah mungkin melihat  Ibu sebagai cinta monyet pertamanya. Tapi ketika ia mulai mencoba mencari tahu tentang Ibu, hatinya langsung ciut ketika melihat  Ibu setiap hari pulang-pergi ke tempat sekolah musik dengan supir dan mobil mewah. Ia tidak punya nyali untuk mendekati Ibu dengan hanya bermodalkan sepeda butut peninggalan ayahnya. Dan ia pun tidak pernah mencoba untuk mendekati Ibu karena ia sudah sadar dari  sejak awal, hanya dalam dongeng mimpi ia bisa  mendapatkan gadis secantik  Ibu.
Beberapa waktu kemudian, tanpa sengaja Ayah melihat Ibu yang menangis di tangga sekolah musik. Saat itu ia hendak naik ke lantai atas dan berpapasan dengan Ibu yang tampak sedang  menangis. Ayah mencoba melewatinya tapi  Ibu memintanya berhenti sambil berkata,
“Memangnya kamu tidak bisa apa menghibur seorang gadis yang sedang menangis? Jangan hanya lewat dan diam saja dong!” kata  Ibu.
“Maaf, aku takut membuatmu marah, karena itu tidak ingin mengganggumu.”
“Kan kamu bisa tanya kenapa aku menangis? Gimana sih!” pinta Ibu   membuat Ayah  bingung.
“Tuh kan bingung, ayo tanya padaku kenapa aku menangis?!” teriak Ibu. Ayah menurutinya dengan gugup.
“Kenapa kamu menangis Angel?”
Ketika mendengarkan pertanyaan itu, yang  ditanya malah berteriak menangis semakin kencang. Banyak orang yang mendengar tangisan  itu langsung mendekat dan berpikir bahwa Ayah yang membuat Ibu menangis. Ayah  tampak bodoh disudutkan dengan kondisi itu, apalagi supir Ibu langsung membawa Ibu pergi begitu saja. Sejak saat itu Ayah  merasa menjadi terdakwa dan memutuskan untuk tidak sekolah musik lagi karena tidak ingin menjadi olok-olokan teman-teman sekelasnya.
Nenek bingung dengan Ayah yang tidak lagi sekolah musik, padahal ia sangat berharap mendapatkan beasiswa itu sejak lama.
“Kamu tidak sekolah musik lagi, Tin?” tanya Nenek.
“Males Bu, anak-anak orang kaya pada sombong, belajar di rumah juga sama aja. Toh itu piano tetap bisa jalan kan walau gak perlu belajar tambahan lagi?”
“Ya terserah kamu saja, yang penting kamu jangan lupa sekolah kamu yang utama, sekolah musik itu kan cuma tambahan saja.”
Menghabiskan waktu di rumah, Ayah ikut membantu Nenek menjaga toko rotinya.  Tanpa ia sangka, Angel muncul di tokonya untuk membeli kue. Ia terkejut melihat Ayah yang sudah lama ia cari dan ini adalah pertemuan yang sudah ia nantikan.
“Ternyata kamu kerja di sini ya?”
“Enggak kok, ini toko roti ibuku.”
“Oo… begitu. Martin, itu kan nama kamu?” tanya Ibu.
“Iya, Martin.”
“Kenapa kamu gak sekolah musik lagi?”
“Gapapa, aku lagi pengen bantu ibuku saja, kebetulan para pegawainya lagi pulang kampung.”
“Jadi bukan karena kejadian saat itu kan?” tanya Angel sekedar untuk mengingatkan kejadian tangisnya yang heboh di sekolah musik.
“Bu… bukan!” jawabnya gugup.
“Baiklah kalau begitu, aku beli sepuluh roti isi coklat. Tolong dibungkus!”
Ayah dengan cepat mengemas roti pesanan Ibu dan beberapa saat kemudian menyerahkan sekantung roti penuh pada Ibu. Sambil memberikan uang, Ibu berkata,
“Aku minta maaf ya atas kejadian kemarin, aku sedang ada masalah pribadi saja. Kapan-kapan kalau kamu ada waktu, aku akan jelaskan,”  ucap Ibu.
“Gapapa, dengan senang hati aku akan mendengarkan ceritamu,” kata Ayah tersipu malu.
Ibu pun pergi dari toko dan Ayah hanya terdiam bingung. Hatinya senang ketika gadis cantik itu meminta waktu untuk mendengar ceritanya. Tiba-tiba Ibu kembali lagi sambil berkata,
“Hai, besok di sekolah musik aku akan tampil. Kamu datang ya  jam  dua siang,” kata Ibu yang kemudian pergi begitu saja.
Ayah benar-benar seperti mabuk kepayang dengan permintaan  Ibu. Hatinya begitu senang hingga membuat  Nenek harus mengetuk kepalanya dengan sendok adonan hingga tersadar dari lamunan.
“Ibu, aku mau lanjutin sekolah musik lagi!” teriak Ayah.
“Lah, tadi katanya bosen, gimana sih!! Sudah jangan aneh-aneh, mandi sana! Biar Ibu yang jaga sekarang.”
“Iya tadi bosen, sekarang sudah enggak, besok aku sekolah lagi,”  kata  Ayah pergi ke dalam kamar sambil menutup kepalanya dengan bantal.
***

Keesokan harinya,  Ayah benar-benar menepati janjinya untuk melihat penampilan Ibu Ibu di sekolah musik. Saat itu banyak murid yang tampil menjalani uji kelayakan naik kelas atau level. Ayah datang  saat Ibu sedang berada di atas panggung. Banyak penonton yang begitu terhanyut oleh alunan musik piano klasik yang  Ibu mainkan. Sesekali  Ibu menolehkan wajahnya ke arah penonton dan berharap  Ayah ada di sana  hingga akhirnya setelah beberapa kali menoleh, ia menemukan  Ayah yang sedang berdiri karena tidak kebagian kursi.
Setelah musik selesai, tepuk tangan Ayah terdengar paling nyaring di antara yang lain. Ibu tertawa kecil melihat  Ayah yang memuji penampilannya. Sejak saat itu keduanya pun menjadi dekat. Mereka selalu menghabiskan waktunya di sekolah musik bersama.  Itulah cinta monyet pertama Ayah. Walau mereka tidak pernah mengatakan cinta dan menyatakan berpacaran, keduanya selalu dekat dan saling menghabiskan waktu bermain musik piano sebagai bentuk jalinan cinta mereka.
***

Cinta mereka  tidak selamanya berjalan baik. Empat bulan setelah masa-masa indah itu, Ibu harus melanjutkan pendidikannya ke Amerika yang disambut  Ayah dengan penuh kesedihan. Memang jarak cinta dan usia sangat berpangaruh terhadap hubungan mereka.  Ibu yang lulus dari bangku SMA harus melanjutkan kuliah sedangkan  Ayah justru baru saja masuk SMA. Hal-hal itulah yang akhirnya membuat mereka sulit bersama.
Ayah begitu berat melepaskan Ibu  di saat terakhir pertemuan mereka. Mereka menghabiskan waktu dengan bermain piano bersama. Di antara suara alunan piano, mereka pun bicara dengan hati yang terluka.
“Kalau aku pergi dari sini, apa kamu akan tetap sekolah piano disini?” tanya Ibu.
“Tidak, aku akan kembali membantu Ibu dan fokus pada sekolah umumku.”
“Kenapa, kamu kan suka main  piano apalagi kamu sekolah di sini kan tidak dipungut biaya?”
“Tidak ada kamu di sini itu hanya membuatku sulit untuk melupakan kenangan kita,” kata Ayah dengan wajah sedih.
“Aku mungkin tidak akan kembali,” ucap Ibu kemudian membuat Ayah kaget.
“Kenapa kamu tidak kembali? Padahal aku berjanji untuk menunggu kamu sampai kembali.”
“Semua tergantung ayahku. Ia yang memutuskan, kalaupun harus kembali itu harus setelah aku selesai kuliah, memangnya kamu sanggup apa menunggu sekian tahun?”
“Aku pasti sanggup!”
Ibu hanya tersenyum. Ia sedikit lebih dewasa untuk menahan tangis  di samping Ayah. Dan itulah saat-saat terakhir mereka bersama, dalam sebuah ruangan dan bermain piano bersama. Ibu pun pergi melanjutkan pendidikan kuliahnya di Amerika, sedangkan Ayah memutuskan keluar dari sekolah musik dan fokus pada sekolah pendidikan umumnya. Di hatinya  hanya ada satu hal: ia akan terus menunggu dan menunggu  hingga  Ibu kembali walau ia tidak pernah tahu kapan itu terjadi.
***
Lima tahun kemudian…
Ibu kembali saat usianya sudah 23 tahun. Ia mungkin sudah melupakan Ayah untuk waktu yang lama. Ayah telah menjadi seorang pemuda tampan berusia 20 tahun. Ia baru saja lulus kuliah dan bekerja pada perusahaan dimana ayahnya Ibu adalah pemiliknya. Mereka bertemu saat Ibu tidak sengaja mampir ke kantor ayahnya. Saat itu di sebuah sebuah lift, Ibu dan Ayah saling  berpapasan. Ayah tidak akan pernah lupa wajah Ibu yang cantik dan begitu pula  sebaliknya. Keduanya salah tingkah tapi bahagia dengan pertemuan itu kemudian keduanya sepakat untuk melanjutkan pertemuan itu dengan makan malam.
Ayah tidak pernah tau kalau perusahaan keuangan yang ia tempati adalah milik Ibu. Ia pun tak menyangka bahwa Ibu akan bekerja di tempat yang sama. Keduanya semakin dekat  hingga Ayah menepati janjinya kepada Ibu.
Ia tidak pernah memiliki seorang kekasih pun setelah berpisah dengan Ibu.  Lain halnya dengan Ibu yang sudah memiliki beberapa kekasih dan itu ditunjukkannya kepada Ayah lewat foto-foto saat ia bersama mantan kekasihnya di Amerika.
Ayah pun tidak peduli dengan semua itu. Baginya yang terpenting saat ini ia sudah bisa bertemu dengan Ibu  kembali dengan hati yang sepenuhnya mencintainya. Hati Ibu pun luluh melihat Ayah sebagai sosok pria sejati yang layak mendampingi hidupnya.
Sayang seribu sayang, kisah cinta mereka akhirnya sampai ke telinga Kakek. Ia marah karena tidak sudi melihat Ibu berpacaran dengan karyawan rendahannya. Ia malu dan gengsi dengan hubungan tersebut. Tanpa sebab yang jelas, Kakek memecat Ayah  hingga membuat Ibu sangat marah. Ibu pun menyadari bahwa hubungannya telah diketahui ayahnya. Ia protes padanya.
“Kenapa Ayah tidak bisa memisahkan masalah pribadi dan perkerjaan? Jangan sewenang-wenang memecat Martin, ia tidak memiliki kesalahan dan  bekerja dengan baik untuk perusahan kita!”
“Ia memang bekerja dengan baik tapi menghancurkan impian Ayah dengan baik juga terhadap kamu.”
“Angel sudah besar Ayah. Angel tau apa yang pantas Angel lakukan.”
“Pantas? Menurutmu pantas berpacaran dengan seorang karyawan rendahan dan seluruh karyawan di sini menggunjingkan ayahmu? Dimana letak urat malumu? Memangnya kamu sudah tidak laku sehingga harus pacaran dengan orang rendahan seperti itu?”
“Martin pria yang baik dan tidak serendah yang Ayah pikirkan. Kalau Martin dipecat, mulai hari ini, Angel pun angkat kaki dari perusahaan ini!”
Sejak saat itulah hubungan Ibu dan Kakek menjadi berantakan. Ibu sadar, Ayah pasti tahu mengapa ia dipecat dari perusahaan. Dengan berbesar hati ia menerima semua keputusan perusahaan dan tidak masalah baginya karena ia bisa bekerja pada perusahaan lain. Hubungan cinta itu terus berjalan tanpa sepengetahuan siapapun hingga dua tahun kemudian, mereka memutuskan untuk melanjutkan hubungan ini ke arah yang lebih serius ketika ibu berusia 25 tahun.
Ayah melamar Ibu di depan keluarganya dan langsung mendapatkan hujatan. Melihat tindakan nekad itu, kedua orang tua Ibu memutuskan untuk membawanya ke Amerika dan membuat cinta mereka terpisah. Awalnya semua berjalan dengan baik, tapi  di saat-saat terakhir sebelum keberangkatannya, Ibu berhasil melarikan diri. Ia kabur ke rumah Ayah di bawah hujan yang deras. Di samping nenek, Ibu memohon untuk tinggal bersama Ayah.
Nenek yang tidak tega dan lebih berpikiran luas akhirnya mengizinkan keduanya tinggal bersama. Karena cepat atau lambat, orang tua Ibu akan mencarinya, maka keduanya pun memutuskan untuk kabur ke kampung halaman Ayah di Semarang. Di sana mereka hidup bersama dan akhirnya merayakan pernikahan secara resmi  dengan membawa sedikit saksi-saksi yang dapat membuat sah pernikahan mereka. Ibu kembali dengan surat nikah  ke hadapan orang tuanya bersama Ayah.
Dengan wajah penuh emosi, saat itu Kakek berkata,
“Mulai saat ini, kamu bukanlah anakku lagi, pergi dari rumah ini!”
Dengan tangis, Ibu pergi meninggalkan rumah dan kemewahan miliknya. Sebelum ia pergi, adik kandung satu-satunya memberikan sedikit uang yang langsung mereka tolak. Adik Ibu memaksa dan berharap uang  itu bisa digunakan untuk masa depan keluarga kecil ini karena setelahnya, mungkin mereka tidak akan pernah bertemu lagi dengan mereka. Keluarga besar Ibu memutuskan untuk selamanya menetap di Amerika dan meninggalkan semuanya.
Simpanan uang yang diberikan adik Ibu akhirnya dijadikan bekal membangun sebuah keluarga di Semarang, kampung Ayah. Ibu membuat kursus musik secara pribadi dan Ayah berkerja di kantor keuangan.
Setahun kemudian, Ibu mulai mengandungku. Keluarga kecil itu begitu bahagia melengkapi kehidupan barunya hingga Ibu memutuskan untuk berhenti mengajar les piano dan fokus pada bayi kecil yang kelak menjadi diriku di masa depan.
Sebulan aku dalam kandungan, Ibu mulai tampak telihat aneh. Ia sering merasa sakit dan tubuhnya melemah. Ayah mulai cemas karena Ibu tidak seperti ibu hamil lainnya. Apalagi Nenek juga melihat keanehan karena semakin besar usia kandungannya, Ibu semakin terlihat tidak sehat. Ayah membawa Ibu ke dokter dan inilah hal yang paling memilukan terjadi dalam kehidupan mereka. Tanpa mereka sadari, ada hal lain dalam hidup mereka yang tidak bisa disatukan.
Ayah memiliki darah yang bertolak belakang dengan  Ibu. Ayah memiliki rhesus darah positif sedangkan  Ibu memiliki darah rhesus negatif. Dalam dunia kedokteran, kedua darah tersebut tidak diperbolehkan untuk bersama. Pernikahan yang terjadi tanpa pernah melihat apa yang membedakan mereka itu pun akhirnya menjadi masalah bagi Ibu. Ibu mengandung aku yang memiliki rhesus darah positif milik Ayah dan itu membuat tubuh Ibu menolak kandungan Ibu.
Dan akibat perbedaaan itu, usia kandungan yang semakin besar  membuat tubuh Ibu semakin menderita. Dokter menyarankan Ibu untuk mengugurkan kandungan, tapi Ibu menolak keras rencana itu. Bagi Ibu, aku adalah segalanya dalam hidup. Ayah tidak bisa melakukan apapun dan tidak juga menyarankan Ibu untuk mengugurkan  kandungannya. Karena ia tahu, Ibu begitu mencintai aku dan tidak akan pernah mau melakukan tindakan kejam itu. Tindakan  Ibu yang tegas akhirnya hanya   membuat dokter mengikuti kehendaknya tapi ia mengingatkan  Ibu bahwa Ibu  bisa kapan saja mengalami kondisi kritis bila aku dipertahankan.
Dengan bertahan di atas kesakitan dan maut yang siap kapan saja menjemput, Ibu percaya bahwa Tuhan menciptakan aku dalam hidupnya dengan penuh tujuan. Akhirnya setelah masa-masa penuh derita itu, saat usia kandungan mencapai  tujuh  bulan,  Ibu tiba-tiba pingsan tak sadarkan diri. Ayah membawanya ke dokter untuk dirawat di unit gawat darurat. Saat itu dokter memutuskan untuk mempercepat proses kelahiranku karena kondisi  Ibu  akan semakin sangat kritis bila aku terus bertahan.
Tanpa pernah melihatku saat matanya terbuka,  Ibu meninggal   saat aku benar-benar berhasil diselamatkan oleh dokter.  Ayah hanya bisa termenung sedih melihat kepergian Ibu yang begitu mendadak. Tapi ia selalu teringat janjinya pada Ibu di saat Ibu memutuskan untuk bertahan dengan aku di dalam tubuhnya.
“Anak ini… walau orang lain mengatakan tidak pantas untuk dilahirkan, bagiku ia adalah malaikat yang hidup dihatiku, Martin. Kelak ketika ia lahir, berikanlah nama Angel padanya. Karena Dokter bilang anak ini berjenis kelamin perempuan.”
“Kenapa kamu berkata begitu?”
“Karena aku takut kamu lupa untuk memberikan nama ini, jadi aku ingatkan.”
Tak pernah disangka Ayah, itulah pesan terakhir Ibu untuk Ayah sebelum ia meninggal. Ayah hanya bisa menangis dan berusaha tegar untuk kedua kalinya ia harus  ditinggalkan Ibu. Dan kini, aku mengerti mengapa aku menangis begitu kencang saat aku terlahir ke dunia ini. Mungkin karena aku menangis untuk memanggil Ibu yang telah pergi untuk mengorbankan jiwanya demi aku. Aku menangis karena aku ikut bersedih tidak pernah bisa melihatnya seperti ia tidak pernah bisa melihatku ketika terlahir…

bersambung bagian 3

0 komentar:

Post a Comment