Ayah mengapa aku berbeda : bab 1

Kisah ini terdapat dalam novel ” Ayah, Mengapa aku Berbeda?” telah terbit dan bisa kamu dapatkan di toko buku kesayangan kamu. novel ini akan diangkat ke layar lebar pada awal desember 2011.
buku ini seharga 35.000 dan bisa kamu beli online juga. silakan membaca
Kelahiranku

Saat aku terlahir di dunia ini, ayahku pernah bercerita bahwa ia mendengar suara tangisku yang menjerit begitu keras. Dokter dan suster yang ikut membantu proses kelahiranku pun begitu bingung karena aku tidak berhenti menangis meski mereka sudah menimang dan menghiburku dengan berbagai cara. Awalnya, aku tidak   mengerti mengapa aku terus menangis dan tidak bisa dihentikan oleh siapapun. Suster yang bingung kemudian menyarankan dokter untuk meminta Ayah yang sedang berada  di ruang tunggu untuk melihatku.

Dengan terburu-buru, Ayah memasuki ruangan inkubator dan ia menyentuh jari pertamanya pada wajahku yang lahir prematur. Ia  menitikkan air mata melihatku dan aku pun secara ajaib berhenti menangis. Ayah mengangkat tubuh mungilku yang hanya seberat beberapa gram saja. Ia melihatku berhenti menangis. Suster-suster heran ketika suara tangisku akhirnya berubah bersuka cita. Ayah menimang tubuhku dengan lembut sambil berkata,
“Mulai saat ini hanya kamulah yang paling berharga dalam hidup Ayah…” begitu kalimat pertamanya padaku.
Ya. Aku adalah anak yang paling berharga baginya. Kelahiranku adalah dua sisi yang cukup membuat Ayah begitu tertekan antara bahagia dan duka.
Duka itu dimulai saat Ibu mengalami pendarahan hebat dan Ayah berada dalam kondisi yang sulit ketika Dokter memberikannya dua pilihan: Pertama, aku yang pergi dari dunia ini atau Ibu yang harus merelakan nyawanya.
Tanpa mempedulikan saran Ayah, Ibu memilih untuk melahirkanku daripada harus mengaborsi bayi prematur  yang  telah ia  rawat dengan penuh kasih sayang. Ia melupakan semua saran dokter demi aku: Sang janin kecil yang terus membuat nyawanya terancam.
Ayah menginginkanku di dunia ini seperti halnya Ibu. Tapi Ayah tidak ingin membuat Ibu bersedih dan bimbang melawan keputusan Ibu.  Ayah  terpaksa menerima keputusan Ibu dan berharap keduanya dapat selamat dengan mukjizat Tuhan. Di saat-saat kritis itu, dengan mengenggam erat tangan Ibu, Ayah melihat sendiri Ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Di saat nafasnya akan berakhir, terdengar suara tangis pertamaku di dunia ini dengan senyuman terakhir Ibu yang bahagia melihat kelahiranku. Saat itulah ia pergi dariku dan Ayah.
Tuhan, aku tidak pernah mengerti mengapa aku harus menjadi beban bagi hidup ibuku. Andai saja aku tahu bahwa hidupku hanya untuk membuat ibuku menderita, mungkin aku tidak akan memilih untuk terus hidup di dunia ini.
Tapi semua rencanaNya telah digariskan lewat takdir yang mempertemukan Ibu dan ayahku. Dan oleh karena cinta merekalah aku terlahir ke dunia ini. Ayah selalu berkata  bahwa pernikahan mereka adalah hal terindah di dunia ini. Sebagai keluarga kecil  yang bahagia, tentu saja mereka berharap ingin hidup bersama hingga waktu memisahkan mereka. Tapi nyatanya perpisahan terjadi begitu singkat hanya setelah pernikahan  dua tahun itu dan kelahiranku adalah awal yang membuat dunia Ayah berubah. Kini ia menjadi orang tua tunggal bagiku.
Di saat  Ayah menimangku dengan penuh kasih, seorang suster mendekat padanya lalu bertanya dengan perlahan agar tidak membuatku kembali menangis.
“Maaf  Pak menganggu, bayi cantik ini akan diberikan nama siapa?” tanya suster itu pada Ayah.
“Angel! Berikan nama dia Angel,” kata Ayah.
Angel. Itulah namaku.
Nama yang Ayah berikan untuk mengenang Ibu yang juga bernama Angel. Mereka memiliki rahasia mengapa aku diberikan nama itu dan aku hanya akan tahu pada saat usiaku nanti sudah cukup dewasa untuk mengerti arti kehidupan.
Karena merasa nyaman, saat itu aku malah tertidur dalam timangan Ayah. Sambil menciumku, Ayah kembali memberikan aku kepada suster agar dikembalikan ke dalam ruangan inkubator supaya tubuhku merasa hangat.
***
Karena aku lahir prematur, aku harus dirawat untuk waktu yang cukup lama hingga aku bisa keluar dari Rumah Sakit. Ayah yang bingung, kemudian meminta ibunya (nenekku) untuk merawatku. Selain harus menyiapkan upacara pemakaman almarhumah Ibu,   Nenek  diharapkan dapat membantu Ayah yang harus menjalani hidup-hidup beratnya saat ini. Nenek yang tinggal di Jakarta, langsung terbang naik pesawat menuju Semarang. Ia memberikan kekuatan besar dalam hidup  Ayah saat itu. Dan darinya juga, Ayah belajar banyak akan arti keikhlasan dan harus kuat untuk melihat masa depan.
Ibu, sebelum meninggal pernah meminta Ayah untuk tidak menguburkannya tapi lebih memilih untuk  dikremasi, kemudian meminta abunya dibuang di lautan Jawa. Ayah menuruti permintaan terakhir Ibu dengan berat hati, ia menyimpan sisa-sisa abu itu dalam sebuah kotak guci kecil yang ia simpan di ruangan kamarnya dengan foto Ibu yang sedang tersenyum. Setiap malam ia selalu menyalakan lilin minyak kecil untuk mengenang Ibu. Ia tidak bisa sedih berlama-lama karena ada aku yang harus ia perjuangan untuk terus hidup.
Setelah dua bulan lamanya hidup dalam inkubator, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang. Bersama dengan Nenek, Ayah belajar banyak bagaimana  caranya menjadi seorang ibu. Ia mulai mengerti bagaimana untuk menganti popokku, membuatku berhenti menangis pada malam hari dan juga bagaimana memandikanku dengan benar. Tapi yang paling sulit baginya adalah membuat susu yang baik bagiku, sebab aku sangat sulit untuk minum susu bila tidak hangat atau tidak manis.
Karena tidak ada ASI ( Air Susu Ibu) dari ibu kandung, Ayah harus menambah beberapa vitamin tambahan yang diberikan dokter agar aku dapat tumbuh dengan sehat dan sempurna sesuai asupan gizi seusiaku. Bersama kedua malaikat itu, aku pun tumbuh seiring berjalannya waktu. Ayah dan Nenek  bergantian menjagaku. Bila Ayah harus bekerja, Nenek dengan siaga menjagaku dan begitu pula sebaliknya, bila  Nenek sedang beristirahat, Ayah akan menjagaku dengan sungguh-sungguh agar tidak menangis dan menganggu istirahat Nenek yang sudah berusia 55 tahun. Saat  itu usiaku baru  satu  tahun.
Aku tidak tahu betapa aku adalah bayi yang merepotkan karena Ayah bilang, saat aku kecil, selalu buang air kecil setiap popok baru terpasang.  Aku juga tidak pernah mau mendengarkan semua nyanyian yang Ayah berikan padaku ketika ia mencoba membuatku tidur. Aku juga selalu menangis dan menangis bila merasa Ayah dan Nenek kurang memanjakanku atau apa yang aku inginkan tidak mereka berikan. Semua masih baik-baik saja sampai akhirnya Ayah mulai merasa aku telat bicara, karena seharusnya usiaku saat itu (dua tahun) bahkan tidak pernah mengucapkan sepatah katapun, padahal Ayah sudah mengajarkanku beberapa kata-kata ringan seperti memanggil;
“Ayah…” atau “ Nenek…”
Sampai akhirnya ketika usiaku menginjak  tiga tahun, aku masih tidak pernah bicara apapun dan Ayah merasa ada yang aneh dengan sikapku. Terutama ketika aku tidak pernah merespon terhadap panggilannya. Ia malah berpikir aku seorang autis karena pada saat itu ia sempat mendengar perilaku balita sepertiku dapat dikatakan penderita autis. Untuk membuatku tetap ceria, Ayah memberikanku banyak mainan boneka. Aku sangat suka bermain dengan boneka-boneka yang Ayah bawakan setiap ia pulang kerja.
Sampai akhirnya pada saat aku bermain boneka, Ayah memandangku. Sedangkan Nenek saat itu sedang di dapur untuk membuat makan malam kami.
“Angel!” teriak Ayah di hadapanku saat aku sedang asyik bermain boneka sapi kartun lucu.
Ia kemudian mendekatiku, lalu membelakangi tubuhku, ia mengunakan kedua tangannya di kepalaku sambil menepuk kedua tangannya dengan kencang. Terdengar suara tepukan tepat di belakang kepalaku. Ayah melakukannya berulang-ulang hingga ia berhenti dan menarik nafas panjang. Nenek  yang mendengar suara tepukan tangan itu keluar dari dapur menuju ruangan dimana aku dan Ayah berada. Ia melihat tingkah Ayah dan bertanya,
“Sedang apa kamu Martin?” panggil Nenekku. Martin adalah nama Ayahku.
“Ibu, aku merasa Angel tidak bisa mendengar apa yang aku lakukan, bahkan ia tidak bisa merespon tepukan tangan tepat di belakangnya. Bila ia bisa mendengar, harusnya ia akan terkejut. Tapi ia diam saja.”
Nenek kemudian mendekatiku yang masih asyik bermain boneka. Ia memandangku dan berbicara pada Ayah sambil memegang kepalaku dengan lembut.
“Ibu juga merasa ada yang tidak beres dengannya. Bagaimana kalau kita coba bawa ke dokter? Mungkin mereka bisa menemukan jawabannya.”
“Baiklah Bu. Aku akan mandi dulu. Setelah makan malam aku akan membawa Angel ke dokter.”
“Ibu juga ingin ikut,” kata Nenekku.
***

Sesungguhnya kecemasan Ayah karena aku tidak bisa merespon dan mendengar apapun yang diperintahkan sudah sejak lama disimpannya,  tapi ia mulai menyadari bahwa aku bukanlah anak autis. Pikiran itu akhirnya runtuh sampai hari ini. Ia benar-benar harus mencoba mencari tahu apa yang terjadi padaku. Setelah aku menikmati makam malam buatan Nenek dan merasa kenyang, aku tertidur dan ketika terbangun, aku sudah berada di Rumah Sakit. Seorang dokter tampak sedang memeriksa telingaku dengan senter kecil berwarna putih yang cukup aneh bagiku.
Dokter perempuan itu tersenyum padaku. Lalu usai pemeriksaan itu, Nenek langsung mengajakku untuk jalan-jalan di sekitar ruangan Rumah Sakit, agar tidak mengganggu pembicaraan Ayah dengan Dokter.
Ayah berbicara dengan  Dokter Intan yang notabene adalah seorang  spesialis telinga.
“Bagaimana Dok, dengan kondisi Angel? Mengapa dia tidak bisa merespon panggilan dan kata-kata saya?”
“Dengan sangat menyesal, saya harus mengatakan kalau anak Bapak adalah seorang tunarungu…”
“Tunarungu? Bagaimana bisa?” (Tunarungu: orang yang terlahir cacat pada pendengarannya)
“Melihat catatan kelahiran dan kesehatannya, pada anak Bapak yang lahir secara prematur, segala kemungkinan bisa terjadi. Tunarungu adalah salah satu hal yang bisa terjadi pada setiap anak-anak yang terlahir secara prematur. Jadi dalam dunia medis, cacat lahir bawaan ini adalah hal yang bisa terjadi di setiap  10 banding 1000 kelahiran bayi.”
Ayah terdiam.
“Bapak tidak perlu bersedih ataupun panik, dewasa ini sudah banyak pendidikan dan orang yang hidup dengan kondisi yang sama dengan anak Bapak. Anak Bapak tetap bisa memiliki masa depan yang baik. Bila sejak dini kita mendidik dan mengajarinya, kelak anak itu akan tumbuh seperti anak-anak normal lainnya dan masyarakat kita sudah bisa menerima keadaan seperti ini.”
“Tapi keadaan ini sangat membuat saya sedih. Kasihan anak itu, ia tidak menyadari keadaannya, apa yang harus saya lakukan untuk memberitahunya? Apa yang harus ajarkan padanya saat ia mulai tumbuh jadi besar? Dan yang paling saya cemaskan, bagaimana caranya ia tau keadaannya sendiri? Apa yang harus saya jelaskan sedangkan dia sendiri tidak bisa mendengar dan bahkan tak  mengerti apa yang saya katakan?” kata Ayah dengan wajah sedih dan menahan air mata.
Dokter mencoba membuat Ayah tegar, lalu berpikir sejenak sampai akhirnya ia mengambil kartu nama dan memberikannya  pada Ayah. Dokter merekomendasikan seorang kenalan yang ia pikir bisa membantu masalah Ayah.
“Begini saja, saya memiliki seorang kenalan yang sudah berpengalaman untuk mendidik  bagaimana caranya menjadi orang tua tunarungu, mungkin ia bisa membantu Bapak dalam masalah ini.”
“Maksudnya ‘dia’ Dokter?”
“Beliau adalah seorang ibu yang juga memiliki anak tunarungu. Beliau berhasil menjadi pendidik bagi orang tua yang melahirkan anak-anak tunarungu. Saya yakin dengan senang hati ia akan membantu Bapak agar bisa menjadi orang tua yang baik. Simpanlah kartu nama ini, katakanlah bahwa saya yang merekomondasikannya pada Bapak.”
“Terima kasih Dokter!”
Ayah keluar dari ruangan Dokter dengan wajah sedih. Ia membaca kartu nama itu dengan teliti dan berharap banyak pada Ibu yang berpengalaman itu dapat menyelamatkan hidupku. Saat itu, Nenek baru saja memberikanku eskrim coklat dan ketika melihat Ayah aku langsung mendekatinya. Nenek bertanya kepada Ayah yang tampak murung.
“Bagaimana hasilnya, Tin?”
“Angel positif tunarungu, Bu…”
Nenek ingin menangis ketika mendengar kalimat itu keluar dari mulut Ayah, tapi ia tidak ingin membuat Ayah lebih bersedih. Di saat seperti ini, hanya dialah orang yang bisa menghibur dan menguatkan hati  Ayah untuk membesarkanku. Ayah memang bukanlah seorang ibu, tapi ia memiliki ibu yang berpengalaman merawatnya hingga dewasa seorang diri tanpa suaminya (Kakekku). Kakek meninggal saat ayah berusia  tiga tahun karena kecelakaan kereta api. Apa yang terjadi pada Ayah saat ini, seperti halnya pernah terjadi pada Nenek saat itu.
Tapi Nenek memang luar biasa, ia berhasil hidup menjadi orang tua tunggal bagi Ayah dan kini ia harus membuat Ayah juga sekuat Nenek.

bersambung

0 komentar:

Post a Comment